.

Rock Climbing at Parangndog Beach Yogyakrta

.

Street of Pegunungan Kidul Dlingo Yogyakarta

.

Spent the afternoon at the Sepanjang Beach Yogyakarta

.

Chatting with beautiful beaches Sundak Yogyakarta

.

Nature in the Forest Hills Community Kalibiru Menoreh Kulonprogo Yogyakarta

readbud - get paid to read and rate articles

24 Desember 2011

Riyanto, Banser NU Pahlawan Malam Natal

Malam Natal tahun 2000. Ia bernama Riyanto, kala itu berusai 25 tahun, satu dari empat orang Banser NU yang dikirim GP Ansor Mojokerto untuk menjaga perayaan Natal di gereja Eben Haezer, Mojokerto.

Semula, Misa Malam Natal itu berlangsung dengan khusyuk seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi ternyata hanya berlangsung separuh jalan. Sekitar pukul 20.30 WIB, seorang jemaat menaruh curiga pada sebuah bingkisan yang tergeletak tak bertuan di depan pintu masuk gereja.

Riyanto pun memberanikan diri membuka bingkisan itu. Ia membongkar kantong plastik hitam itu di hadapan petugas pengamanan gereja Eben Haezer lainnya, termasuk seorang polisi Polsek setempat. Di dalamnya tampak menjulur sepasang kabel. Tiba-tiba muncul percikan api. Riyanto langsung berteriak sigap, "Tiaraaaapp!" dan kemudian terjadi kepanikan dalam Gereja.

Riyanto segera keluar ruangan dan melemparkan bungkusan bom itu ke tong sampah, namun terpental. Ia kemudian berinisiatif mengamankan bom dengan memungut kembali untuk dilemparkan ke tempat yang lebih jauh lagi dari jemaat. Namun, Allah SWT berkehendak lain, bom mendadak meledak dalam pelukan Riyanto sebelum sempat dilempar.

Tubuh pria itu terpental, berhamburan. Sekitar 3 jam kemudian, sisa-sisa tubuh Riyanto baru ditemukan di sebelah utara kompleks gereja, sekitar 100 meter dari pusat ledakan. Jari dan wajahnya hancur, Riyanto pun meninggal seketika.

Bom ini tanpaknya tidak main-main. Ledakannya membuat roboh pagar tembok di seberang gereja. Bahkan kaca-kaca lemari dan etalase Studio Kartini yang tepat di depan gereja Eben Haezer hancur semua. Ledakan ini bukan satu-satunya. Pada saat yang hampir sama, beberapa gereja yang lain juga terkena bom dan menelan korban jiwa.

Pria Muslim yang lahir dari pasangan Sukarnim dan Katinem ini banyak dipuji orang. Seorang Muslim sejati yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan orang lain yang sedang merayakan. Gus Dur pernah berujar, “Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai pengorbanannya.”

Kini, setelah 11 tahun peristiwa itu berselang, nama Riyanto hampir tidak pernah disebut, apalagi untuk diteladani semangat perjuangan dan rasa kemanusiaan Riyanto. Sungguh hal ini sangat ironis, bila dibandingkan dengan keteguhan jiwa Riyanto yang muslim, mau mengorbankan jiwa dan raganya untuk menyelamatkan ratusan nyawa jemaat gereja Eben Haezer.

Di tengah banyaknya aksi kekerasan mengatasnamakan agama seperti yang belakangan ini sering terjadi, sosok dan pengorbanan Riyanto, patut menjadi teladan bagi kita semua, tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan, suku, ras maupun golongan.


*diambil dari berbagai sumber
*Foto Riyanto dan seragam Bansernya

12 Desember 2011

Sampai Kapan Idealisme Akan Bertahan?

Ketika menjadi mahasiswa, banyak dari kita yang tak segan-segan bersuara lantang terhadap siapa saja yang melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dengan turun ke jalan, meneriakkan yel-yel anti-KKN, mengusung perjuangan rakyat, dan membela kebenaran. Kemudian membentuk kelompok anti-KKN bersama aktivis-aktivis lainnya agar barisan perjuangan semakin kuat. Mengatasnamakan rakyat sebagai korban KKN dan mengedepankan reformasi sebagai arah perjuangan bagi perubahan secara total agar visi dan misi sebagai agent of change terwujud. 

Namun, seiring dengan perkembangan gerakan dan perjuangan mahasiswa sekarang, apakah sudah terwujud perjuangan itu secara total? Lengsernya Soeharto dari jabatan presiden pada Mei 1998, bukan akhir gerakan mahasiswa, karena penyakit KKN kini bukan hanya dilingkungan pemerintah saja tapi sudah menjadi budaya sebagian masyarakat kita di mana pun. Praktik korupsi di lingkungan Pemda dan DPRD juga di instansi lain yang akhir-akhir ini menjadi berita di sebagian besar koran dan majalah adalah potret buram wakil rakyat kita. 

Lalu, bagaimana gambaran di atas bila dihubungkan dengan banyaknya jumlah pendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) beberapa waktu lalu? Banyak lulusan perguruan tinggi memimpikan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan alasan akan mendapat kehidupan yang lebih baik. Setiap bulan menerima gaji, kerja dengan duduk santai dan irama kehidupan semakin terarah. Padahal menjadi PNS di lingkungan pemeritahan pusat dan daerah sangat rawan KKN. Lalu, di manakah idealisme mereka, yang ketika menjadi mahasiswa (aktivis) kritis terhadap pemerintah? Mereka dulu mengkritk habis-habisan dengan demo turun ke jalan atau lewat media dan tulisan, dengan tujuan utama pemberantasan KKN. 

Idealisme, menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, adalah hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna. Kata patokan yang dianggap sempurna bisa kita kaji lebih dalam lagi. Patokan tersebut harus sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika waktu kuliah, melihat sosok PNS yang kerjanya hanya duduk santai sambil ngobrol ngalor ngidul adalah sesuatu hal yang menjengkelkan. Namun bagaimana bila realita menakdirkan mahasiswa tersebut menjadi PNS. Motivasi sebagian besar lulusan perguruan tinggi mengikuti pendaftaran CPNS bukan sekedar coba-coba, tapi karena kebutuhan. Mereka tidak lagi memikirkan idealisme saat kuliah, atau gambaran umum buruknya birokrasi di pemerintahan pusat dan daerah yang rawan praktik KKN, atau bayangan akan dikritk dan didemo oleh adik-adik mereka yang masih duduk di bangku kuliah. Yang ada dalam benak, sedapat mungkin lulus ujian CPNS dan siap menjadi seorang PNS dengan harapan hidup terjamin. 

Melacurkan Idealisme 

Sebagai mahasiswa, kita semua sudah mengetahui akan adanya jalur khusus, sebuah terobosan baru untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) tanpa ada hambatan akademis, yang penting punya uang. Dampak yang terjadi di masyarakat, muncul pandangan bahwa dengan banyak uang keinginan apa saja bisa terwujud. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah kaum birokrat kampus juga melacurkan idealisme ketika kebutuhan untuk pengembangan pendidikan begitu mendesak karena subsidi dari pemerintah sudah tidak bisa diandalkan lagi? Sudah sangat jelas perbedaan pengertian idealisme menurut hati nurani dengan yang terjadi di masyarakat atau realita yang sebenarnya. Melacurkan idealisme untuk menjadi PNS bukanlah hal yang salah untuk dilakukan. Kata "lacur" di sini konteksnya bukan menjual idealisme, tapi memanfaatkan idealisme. 

Memanfaatkan sesuatu yang ada tanpa menjual yang ada, berusaha menjadikan yang ada sebagai kesempatan yang harus diambil. Ketika kita dihadapkan pada kebutuhan dan realita yang terjadi di masyarakat serta pertimbangan ekonomi, maka melacurkan idealisme adalah hal yang dianggap sah. Begitu juga dengan birokrat kampus, ketika dibutuhkan pembangunan gedung-gedung kuliah serta fasilitas belajar mengajar, maka kemana lagi mereka harus mencari selain memanfaatkan orang kaya untuk menyisihkan sebagian harta bagi kegiatan pendidikan. Idealisme memang penting bagi kehidupan semua orang. Prinsip dan pedoman serta arah kehidupan seseorang, yang terangkum dalam sebuah kata "idealisme" sangat beragam makna. Hal ini bukan berarti terjadi peregeseran makna idealisme, namun yang terjadi adalah bagaimana kita memaknai kata idealisme sesuai dengan keinginan. Tidak selamanya orang mempunyai idealisme dengan satu pengertian. Maksudnya, ketika pilihan menjadi pilihan utama, di situlah idealisme harus bergerak dan berubah sesuai dengan kebutuhan. []

17 November 2011

Menyambut Masa Depan di Solo Technopark (STP), Solo

"Selamat datang calon peserta program inkubasi bisnis dan teknologi." Kalimat tersebut tertera di spanduk yang terpasang di kanopi, menyambut siapa saja yang memasuki Gedung Solo Technopark (STP) yang berada di Jalan Ki Hajar Dewantara Pedaringan Jebres Solo. Saya kemudian menyusuri gedung yang sebagian masih dalam proses pembangunan tersebut, tampak para peserta didik berseragam biru tua sedang sibuk dengan mesin bubut, las, milling dan lain sebagainya. Di tempat inilah, para calon mekanik yang handal dan siap saing dalam pasar industri digembleng.
STP lahir atas kerjasama Pemkot Solo, Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) dan Indonesian German Institute (IGI), merupakan pengembangan dari Surakarta Competency and Technology Center (SCTC) yang berdiri tahun 2002. Lembaga diklat ini kemudian menjadi unit kerja dibawah Bappeda Kota Solo yang dibentuk berdasarkan Keputusan Walikota No 900/65/1/2009 tanggal 31 Desember 2009. 


Ada tiga tahap diklat yang harus dilalui peserta di tempat tersebut, yaitu tahap pengetahuan dasar mekanik (basic mechanic), tahap program lanjutan (applied program) dan magang kerja (work study). Masing-masing dari tahapan tersebut memerlukan waktu tiga bulan, sehingga total masa diklat selama sembilan bulan. Bagi peserta yang lulus di masing-masing tahap, dengan nilai minimal 5,51 maka akan diberikan sertifikat berstandar industri ATMI Solo. Demikian disampaikan Marketing STP, Sutrisno, saat saya temui dikantornya, Senin (30/8). 


Sutrisno menjelaskan, pada tahap dasar peserta akan mendapat training seputar manufacture mechanic yang meliputi kerja bangku (benchwork), peralatan gerinda (tool grinding), mesin bubut (turning basic skill), mesin frais/milling (milling basic skill) dan mesin las (welding basic skill). Setelah lulus pada tahap dasar mekanik, peserta bisa melanjutkan ke program lanjutan untuk implementasi. 

Program ini dibagi menjadi tiga, yaitu applied program mechanic bertempat di kampus ATMI Solo, applied program welded dan applied program mechanic garmen di gedung Solo Technopark. Selanjutnya peserta menjalani tahap magang kerja industri sebagai persiapan dan menunggu penempatan kerja atau peserta juga bisa mencari tempat kerja sendiri. Untuk masalah penempatan kerja, lanjut Sutrisno, STP telah menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan di Solo, Boyolali, Klaten dan daerah lain, bahkan ada beberapa alumni STP yang bekerja di perusahaan di Jakarta. 


gambar: Peserta didik mengelap Mobil SMK 

Bagaimana dengan persyaratan masuk dan biaya selama diklat? Front Office STP, Ambrosius Agus Triyanto menjelaskan, secara umum lembaga diklat tempatnya bekerja menerima peserta didik laki-laki atau perempuan yang berijazah SMK atau sederajat. Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter, dan yang terpenting lolos seleksi masuk yang terdiri dari test tertulis dan wawancara. Sedangkan untuk biaya selama sembilan bulan masa diklat sebesar Rp 6.750.000, dan biaya seragam dan perlengkapan bengkel sebesar Rp 175.000.

“Biaya tersebut bisa diangsur sampai tiga kali”, terangnya. Mengenai waktu pendaftaran, STP membuka empat gelombang, yakni setiap awal bulan Januari, April, Juli dan Oktober tiap tahunnya. “Calon peserta diklat bisa mendaftar langsung ke kantor (STP) tiap hari dan jam kerja,” pungkas Agus. []

07 April 2011

Review - Film "?", Masih pentingkah kita berbeda?


Judul: ? (Tanda Tanya)

Genre: Drama Religi

Sutradara: Hanung Bramantyo

Produksi: Dapur Film Production

Pemain: Endhita, Revalina S. Temat, Reza Rahardian, Agus Kuncoro,
Glenn Fredly, Henky Solaiman, Rio Dewanto 


Apa kamu? Mau panggil aku murtad? Pergi!!!” Hardikan Rika mengusir Soleh dari perpustakaan. Tahun ini menjadi perjalanan hidup yang sulit bagi Rika. Janda beranak satu yang bercerai akibat kehadiran orang ketiga itu melakukan perubahan besar dalam hidupnya. Ia menemukan Tuhan dalam persepsi berbeda dengan menanggalkan identitas muslimah dan menjadi penganut Katolik yang taat. Anaknya, Abi, tetap menjadi seorang muslim dengan protes-protes kecilnya.

Tak mudah pula bagi Soleh. Seorang kepala keluarga tapi belum bisa menjadi panutan karena menganggur. Ia makin merasa malu karena istrinya, Menuk, yang selama ini membiayainya, justru makin patuh kepadanya. “Ceraikan saja aku, Nuk. Kamu pantas dapat yang lebih baik,” ujarnya membentak di depan restoran tempat Menuk mengais nafkah. 

Seperti Soleh, yang berpolemik dengan harga dirinya, Tan Kat Sun tengah berjuang melawan sakit parah. Ia bangkit dari kasur, lalu melepas semua alat bantu medis. “Sudah cukup! Aku mau sembuh,” katanya kepada sang istri. “Perang dingin” dengan anak satu-satunya, Ping Hen atawa Hendra, menjadi penyumbang terbesar penyakit yang diderita bos Menuk itu. Baik Rika, Soleh, Tan Kat Sun, maupun Menuk memiliki persoalan tersendiri. Dari latar agama berbeda, kisah hidup mereka menjadi sebuah refleksi kehidupan beragama di negeri ini. Potret kehidupan bermasyarakat itu dikemas dengan apik dalam medium film oleh Hanung Bramantyo dalam film bertajuk Tanda Tanya. 

“Saya tidak bisa mendapatkan judul terbaik selain Tanda Tanya,” ujar Hanung tentang judul yang dipilihnya. Film produksi ketiga Dapur Film Production—setelah Queen Bee dan Menebus Impian—bekerja sama dengan Mahaka Entertainment ini menyuguhkan akting Endhita, Agus Kuncoro, Reza Rahardian, Revalina S. Temat, dan Henky Solaiman. Kehadiran Surya, aktor figuran film yang kariernya mandek, memberi warna di tengah kehidupan Rika. Sikap Surya yang lebih toleran atas keputusan Rika menjadikan keduanya kian akrab. Tatkala rezeki Surya mengering, Rika menawarinya peran utama pada pementasan Natal di gereja. Angin surga yang awalnya bertiup lalu kencang menampar. Surya harus berperan sebagai Yesus yang disalib. Sebagai muslim taat, pantaslah bila Surya galau. 

Begitu pula pernikahan Soleh-Menuk yang dilandasi keimanan kental. Niat saklek Soleh menjadi suami terhormat mengantarnya menjadi seorang anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU). Namun hal itu belum cukup. Kehadiran Hendra, mantan kekasih yang juga majikan Menuk, masih terus membayanginya. Berbeda dengan ayahnya yang sangat menghormati Islam, Hendra justru menyimpan dendam terhadap agama itu setelah percintaannya dengan Menuk kandas karena perbedaan agama. Setelah berjibaku dengan Perempuan Berkalung Sorban, Hanung kembali menebar “jaring” lewat film terbarunya ini. Guna meloloskan filmnya dari kejamnya gunting sensor, ia bergelut dengan argumentasi. Adegan yang menggambarkan kepala babi di dapur restoran memang terkena gunting sensor. 

Namun Hanung berhasil menyelamatkan umpatan kata “Cina” dalam dialog Soleh. Juga sejumlah adegan, seperti Sinterklas yang menangis di jalanan, Soleh masuk gereja, dan Soleh sebagai anggota Banser yang memutuskan berjihad dengan membawa bom. “Bagian bom diprotes karena dianggap tidak masuk akal, mengingat bom seharusnya tidak ditangani oleh Banser,” kata Hanung. Namun Hanung berkukuh karena, dalam film, sebelumnya dikisahkan tentang kemelut di hati Soleh. Setelah merapat ke Muhammadiyah dalam proyek Sang Pencerah, kini Hanung melirik Nahdlatul Ulama lewat kisah anggota Banser. 

Trailer Film "?" (Tanda Tanya)

 

Kisah nyata ini didapatkan Hanung dari Riyanto (almarhum), yang merupakan anggota Banser Mojokerto. Riyanto meninggal dalam tragedi bom Natal sekitar tiga tahun lalu. Nama Riyanto dikukuhkan dalam “Beasiswa Riyanto” di Wahid Institute. Tokoh Rika dan Surya juga bukan rekaan. “Kisah Rika dialami kerabat saya dan kisah Surya diilhami oleh figuran film Sang Pencerah bernama Dombleh,” kata Hanung. Hanung enggan menitikberatkan karyanya condong ke organisasi massa tertentu. 

Namun dia mengakui isu tentang Islam saat ini kian “seksi” di matanya. “Apalagi soal keragaman agama yang memang saya alami sendiri di keluarga, berhubung ibu saya seorang mualaf,” ujar sutradara berdarah Cina-Jawa itu. Sebelumnya, kisah perbedaan agama pernah diembuskan film 3 Hati 2 Cinta 1 Dunia karya Benni Setiawan. Jika keduanya disandingkan, eksekusi film Hanung jelas lebih lantang ketimbang drama percintaan Rosid-Delila itu. []