.

Rock Climbing at Parangndog Beach Yogyakrta

.

Street of Pegunungan Kidul Dlingo Yogyakarta

.

Spent the afternoon at the Sepanjang Beach Yogyakarta

.

Chatting with beautiful beaches Sundak Yogyakarta

.

Nature in the Forest Hills Community Kalibiru Menoreh Kulonprogo Yogyakarta

readbud - get paid to read and rate articles

07 Juli 2009

SUNNAH, Menurut Saya...

Saudaraku sekalian… 

Ada yang mengganjal di hati saya, ketika memperhatikan gerakan Islamisasi di Indonesia akhir-akhir ini. Menurut saya bukan Islamisasi lagi yang di gencarkan _oleh beberapa kelompok, tapi Arabisasi. Banyak kelompok-kelompok yang berusaha tampil dengan citra islami, dengan berpakaian, berlagak, berbicara ala arab. Ketika mereka ditanya, mengapa seperti itu? Jawabannya dapat segera kita tebak bahwa mereka ingin bersunnah ria. 

Dari beberapa literatur yang saya baca, saya menyimpulkan bahwa Sunnah Rasulullah adalah “semangat/pesan moral” yang secara implisit bisa kita temukan dalam setiap sikap yang di ambil oleh beliau. Sikap ini meliputi beberapa aspek, tapi dalam kesempatan kali ini saya akan memaparkan dua diantaranya yaitu sikap beliau dalam berbusana dan berbudaya. 

Sikap Rasulullah dalam berbusana 

Banyak diantara kita yang memahami bahwa berpakaian gamis, bersorban, celana cungklang diatas matakaki adalah Sunnah. Tapi tidak, menurut saya. Sunnah Rasulullah dalam berpakaian adalah kesederhanaan yang di tampilkan beliau dalam berpakaian. Kalau kita pernah belajar Hadits, kita akan menjumpai sebuah Hadits yang menyatakan bahwa orang yang berpakaian sampai dibawah mata kaki adalah orang yang takabur. Kita buka lagi sejarah dimana Rasulullah masih hidup. Waktu itu pakaian adalah simbol kebanggaan dan kesombongan. Orang-orang kaya gemar memakai pakaian (jubah) yang panjangnya melebihi mata kaki, sampai-sampai jubah tersebut terseret ketika mereka berjalan. Inilah yang dimaksud Hadits Rasulullah tersebut, orang-orang seperti inilah yang di cap sebagai takabur. Jadi, tolak-ukur Sunnah dalam hal ini bukan pada model pakaian/busana (harus cungklang, dll), tapi lebih pada standar kesederhanaan dan kepantasan pakaian itu sendiri diukur dari budaya masyarakat setempat. 

Sikap Rasulullah dalam berbudaya 

Jika kita menggunakan kacamata antropologis-sosiologis, kita akan mendapati sosok panutan kita ini adalah sosok yang sangat inklusif terhadap budaya. Sebagian dapat kita ambil contoh, beberapa praktek ibadah kita adalah bentuk rekonstruksi dari budaya-budaya arab klasik. Mungkin kita bertanya, mengapa beliau melakukan hal ini? Jawabannya adalah : karena dengan mengambil bentuk ritual lama dan mengganti esensi, suatu ajaran dapat mudah dicerna dan diterima umat. 

Diantaranya adalah praktek dalam pelaksanaan shalat. Perlu kita ketahui, bahwa sholat yang bagi kita umat muslim merupakan tiang agama, sebelum islam turun, adalah merupakan salah satu bentuk ritual umat kristen ortodok. Rasulullah datang dengan syari’at baru, maka diambilah bentuk ritual itu, mengganti esensinya, dan melakukan modifikasi dari gerakan-gerakan dalam shalat tersebut. 


Kedua, pelaksanaan ibadah haji, terutama thawaf. Kita tahu bahwa pelaksanaan ibadah haji sudah disyari’atkan sejak masa Khalilullah Ibrahim AS. Selama masa fatrah, banyak penyimpangan yang dilakukan ummat dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Bahkan, kalau kita baca sejarah, sempat terjadi ritual ber-bugil ria di sekitar ka’bah. Rasulullah datang dengan syari’at baru, maka beliau meluruskan praktek-praktek tersebut. 

Ketiga, berkenaan nama dengan Tuhan. Pada masa pra Islam, negeri arab telah mengenal dan mempercayai adanya dewa-dewa penguasa jagat raya. Allah adalah nama dari dewa yang dianggap paling berkuasa diantara dewa-dewa lain pada waktu itu. Rasulullah datang membawa syari’at baru, demi mempermudah da’wah, maka beliau mengakomodir nama tersebut sebagai nama Tuhan bagi kita ummat muslim. 

Sampai disini dapat saya simpulkan bahwa mengakomodir budaya tidak selamanya jelek, bid’ah. Gusti Kanjeng Nabi saja juga melakukan kok. Mengakomodir budaya sama halnya kita bangga dan bersyukur akan identitas kita sebagai bangsa yang secara fitrah telah diciptakan berbeda satu sama lain oleh Gusti Allah. Analogi pada sebuah pohon, budaya laksana akar tunggang yang menghujam ketanah. Semakin dalam akar tersebut menghujam, maka semakin kokoh pulalah pohon tersebut. []